ANALISA PENURUNAN DAYA BELI MASYARAKAT INDONESIA SELAMA KUARTAL 1 DAN 2 TAHUN 2017

 

 

Selepas momen Hari Raya Idul Fitri 2017, mencuat di berbagai media massa mengenai tutupnya gerai-gerai ritel dan turunnya omzet usaha sektor ritel di Indonesia. Seperti yang terjadi di Pasar tanah Abang, pedagang di pasar tersebut mengeluhkan sepinya pembeli di momen Idul Fitri tahun ini dan menyampaikan bahwa omzet penjualan mereka turun 65% dibanding tahun sebelumnya. Selain sektor tekstil, sektor ritel makanan dan minuman pun mengalami hal yang sama, demikian nampak pada tutupnya seluruh gerai 7-Eleven di Jakarta karena penjualan tidak mencapai target. Di sektor ritel elektronik, penurunan omzet nampak terjadi di Pasar Glodok sepanjang 3 tahun kebelakang. Pantauan dari detikFinance, lantai 2 hingga lantai 5, tidak ada pedagang elektronik yang berjualan, dan sebagian besar kios bertuliskan ‘disewakan’ dan ‘dijual’.

Fenomena yang terjadi di Pasar Tanah Abang, 7-Eleven, dan Pasar Glodok adalah sebagian contoh representatif dari kondisi perekonomian sektor ritel secara keseluruhan. Indikasi kuat dari turunnya omzet penjualan dan tutupnya gerai-gerai ritel dikarenakan daya beli masyarakat yang semakin melemah. Hal tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB (atas harga berlaku menurut pengeluaran) triwulan I-2017 sebesar 56,94%, turun dibanding 2016 di triwulan yang sama dengan prosentase 57,70% (BPS, 2017). Konsumsi rumah tangga yang merupakan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, hanya tumbuh 4,94%. Dibandingkan dengan kuartal sebelumnya memang lebih tinggi, akan tetapi dibandingkan periode yang sama tahun lalu ada penurunan pertumbuhan yang cukup signifikan. Pada kuartal II-2016, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,07%. Selanjutnya kuartal III-2016 tumbuh 5,01%, kuartal IV-2016 mencapai 4,99%, dan kuartal I-2017 tumbuh 4,94%.

Foto: Dok. BPS

Diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2017 mencapai 5,01% (yoy). Selain konsumsi rumah tangga, indikator lain juga tak cukup baik. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mencapai 5,35%, ekspor 3,36% dan impor 0,55%. Sementara itu konsumsi pemerintah negatif 1,03%.

Foto: Dok. BPS

Penurunan daya beli masyarakat yang kerap disebut-sebut selama ini memang benar terjadi. Penurunan daya beli tersebut khususnya terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengungkapkan,‎ data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah, terutama di perkotaan. Faisal menyatakan, ‎hal ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah jika inflasi tahun ini terkendali. Menurut dia, memang benar jika inflasi bahan pangan (volatile food) tahun ini sangat rendah. Namun, kenaikan tarif listrik, elpiji dan lain-lain justru membuat inflasi meningkat dua kali lipat.

Sebelumnya, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia tengah mengalami penurunan daya beli masyarakat, meskipun Bank Indonesia (BI) mengklaim inflasi nasional berada dalam tingkat yang stabil rendah. Enny mengatakan, penurunan daya beli masyarakat ini terlihat dari anjloknya pertumbuhan sektor bisnis seperti properti, ritel serta industri makanan dan minuman.‎ “Yang terjadi sekarang itu sebenarnya penurunan daya beli, makanya di properti tidak tumbuh, di sektor ritel pertumbuhannya minus, dan juga industri-industri basic seperti pangan juga mengalami perlambatan,” ujar dia di Kantor Indef, Jakarta. Dia mengungkapkan, salah satu faktor penurunan daya beli masyarakat ini lantaran keterbatasan lapangan kerja. Meski tingkat pengangguran terbuka tidak naik, masyarakat banyak yang beralih ke sektor informal. ‎”Kenapa terjadi penurunan daya beli? Karena keterbatasan lapangan kerja, sehingga sekalipun orang tidak masuk ke pengangguran terbuka, tetapi mereka terlempar ke sektor nonformal. Sektor ini tentu tidak menghasilkan penghasilan yang memadai. Sehingga kalau penghasilannya tidak memadai, barang-barang yang mampu dibeli sangat terbatas. Itu yang disebut penurunan daya beli,” jelas dia. Menurut Enny, penurunan daya beli masyarakat ini juga menyebabkan harga-harga relatif tidak banyak bergejolak. Oleh sebab itu, dalam beberapa tahun terakhir inflasi nasional relatif rendah.

‎”Penurunan daya beli ini menciptakan kurva demand yang menurun, itu menyebabkan harga-harga relatif tidak mengalami gejolak. Sehingga dalam tiga tahun terakhir, inflasi kita relatif rendah. Tetapi pemerintah menilai dengan inflasi rendah, berarti ada ruang untuk menaikkan harga-harga yang bisa ditentukan pemerintah, seperti listrik, tarif air minum, termasuk biaya pengurusan STNK dan BPKB, yang sebenarnya tidak signifikan, tapi berdampak pada daya beli masyarakat,” ungkap dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, tren penurunan daya beli yang saat ini menjadi polemik terjadi karena adanya tren penurunan angka serapan tenaga kerja formal. Hariyadi menjelaskan, jika melihat data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan periode serapan tenaga kerja formal dari tahun 2010 hingga 2016 hanya 850.000 orang per tahun. “Padahal setiap tahun itu masuk kurang lebih sekitar 2 juta lebih angkatan kerja yang masuk ke bursa kerja. Jadi kami melihat bahwa kelas menengah bawah itu betul-betul drop banget,” ujar Hariyadi kepada Kompas.com, Minggu (6/8/2017). Menurutnya, dengan adanya backlog antara serapan tenaga kerja dan angkatan kerja setiap tahunnya berdampak pada penurunan daya beli. “Kami asumsikan orang yang punya uang itu adalah bekerja secara formal menerima gajinya secara baik mempunyai fasilitas jaminan sosial dan ter-cover semua dan itu yang kami anggap mempunyai daya beli,” tambah Hariyadi. Kendati demikian, Hariyadi menegaskan, jika menilik data investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tren pertumbuhan investasi terus meningkat, akan tetapi rasio penerimaan tenaga kerjanya semakin mengecil. Pada 2010, rasio investasi terhadap penyerapan tenaga kerja bisa mencapai 5.000 tenaga kerja dengan nilai investasi 1 triliun, sedangkan saat ini hanya mampu menyerap 2.200 orang. “Ini perlu diperhatikan pemerintah. karena yang butuh makan makin banyak tapi yang punya uang untuk belanja semakin sedikit dan itu fenomena di kelas menengah bawah seperti itu,” jelasnya.

Selain kondisi-kondisi yang dinyatakan diatas, penurunan daya beli yang dialami sekarang ini juga tidak terlepas dari kondisi penurunan harga komoditas andalan Indonesia seperti Sawit (Crude Palm Oil) dan Karet yang menjadi penghasilan mayoritas masyarakat di Pulau Sumatera dan Kalimantan dan juga penurunan di sektor pertambangan. Penurunan harga komoditas ini juga berimbas langsung pada sektor turunannya seperti usaha jasa pertambangan, penjualan alat berat, perdagangan pupuk, perdagangan karet dan sawit dan sebagainya. Ketika pertumbuhan sektor komoditas terkena krisis, maka terjadi efek berantai. Ketika kredit macet sektor pertambangan meningkat, biasanya sektor turunannya bakal mengikuti karena tak siap dengan perubahan harga. Hal ini tercermin juga pada penurunan tingkat kunjungan pembeli ke pasar-pasar tradisional maupun pasar modern (mall) di kota-kota besar maupun kecil, sehingga para pedagang kecil pun mengalami penurunan omset. Jika mereka memiliki hutang di Bank menjadi macet, dan seterusnya beberapa bank yang bergerak di bidang pembiayaan mikro mengalami kenaikan NPL, mengurangi karyawan, dan seterusnya. Rantai krisis ini menjadikan penurunan daya beli menjadi massif terjadi.

Dampak sistematik dari turunnya daya beli masyarakat tersebut kemudian tertuju pada perusahaan-perusahaan selaku produsen barang-barang konsumsi. Rendahnya serapan konsumsi mengakibatkan perusahaan harus melakukan manajerial anggaran seperti pengurangan kuantitas produksi, pengurangan harga jual barang, dan pengurangan biaya produksi. Akibatnya, pengurangan buruh pun dilakukan oleh perusahaan. Dengan kata lain, penurunan daya beli masyarakat berdampak sistemik terhadap PHK massal oleh perusahaan. Implikasi turunnya daya beli, turunnya omzet penjualan, dan PHK massal yang korelatif terjadi sejak 2015. Pada 2015, terjadi PHK besar-besaran di sektor garmen dan tekstil yang mengakibatkan puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan. Pada 2016, giliran sektor elektronik dan otomotif yang mengalami penurunan penjualan dan melakukan PHK.
Tercatat perusahaan-perusahaan elektronik yang melakukan PHK terjadi di PT Toshiba, PT Panasonic, PT Phillips, PT Samoin, PT DMC dan PT Ohsung. Untuk perusahaan-perusahaan otomotif, yang melakukan PHK PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, PT Hino, PT AWP, PT Aishin, PT Musashi, dan PT Sunstar. Tak luput dari ingatan pula pada 2016 di sektor pertambangan terjadi PHK massal dikarenakan jatuhnya harga komoditas primer di pasar internasional. Walaupun pada 2017 PHK massal tidak nampak, akan tetapi gejala-gejala PHK massal 2017 dapat diprediksi. Prediksi terjadinya PHK massal dapat diatribusikan pada pola yang sama pada 2015 dan 2016 dimana serapan konsumsi barang-barang yang rendah di sektor tertentu terjadi di sektor ritel pada 2017 ini.

Dari problem penurunan daya beli masyarakat, termasuk buruh, pemerintah perlu menyusun langkah ekonomi-politik strategis untuk menghentikan PHK massal yang terus terjadi dan mencegah ancaman PHK massal ke depan yang sudah mulai tampak gejala-gejalanya. Salah satu langkah yang perlu diambil oleh pemerintah guna menstimulus kembali kekuatan daya beli masyarakat adalah dengan cara meningkatkan upah buruh secara signifikan melalui langkah awal pencabutan PP 78/2015.

Selain itu, kebutuhan krusial masyarakat seperti BBM dan TDL pun perlu disubsidi lebih besar oleh pemerintah. Karena kedua kebutuhan tersebut merupakan jenis barang yang paling banyak menyerap pengeluaran masyarakat. Dengan demikian, daya beli masyarakat perlahan-lahan akan naik dan konsumsi barang-barang di pasar pun akan terserap, yang pada akhirnya roda perekonomian berjalan dengan baik dan dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.

Untuk mengatasi kelesuan ekonomi ini, Kadin Indonesia meminta Kemenkeu segera merevisi kebijakan supaya mendorong ekspansi bisnis dan investasi. Kebijakan probisnis dan prorakyat sangat diperlukan dunia usaha dan masyarakat, khususnya saat terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Kementerian Keuangan diminta tidak memperketat kebijakan fiskal dengan memotong belanja pemerintah dan menaikkan pajak. Fiskal justru harus dilonggarkan untuk meringankan beban pengusaha maupun masyarakat yang tertekan merosotnya pertumbuhan ekonomi. Apalagi, dalam waktu yang bersamaan, kebijakan moneter diperketat BI untuk mencegah ancaman capital outflow, yang tercermin dari keluarnya dana asing di pasar saham dalam beberapa bulan terakhir.

Secara spesifik, adanya program pemerintah untuk mengembangkan usaha mikro kecil supaya dapat berkembang dan berkompetisi ditengah perubahan pola perdagangan menjadi digital/online juga menjadi penting untuk menjaga perputaran ekonomi dilevel UMK, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat golongan menengah ke bawah yang secara jumlah paling besar di negeri ini.

Lalu, diperlukan juga terobosan pemerintah untuk menjaga tingkat harga produk-produk yang dihasilkan didalam negeri, seperti komoditas utama (sawit dan karet) dengan cara membuat sentral-sentral produksi pengolahan komoditas (pabrik sawit, pabrik karet), sehingga dari yang biasanya kita melakukan ekspor bahan mentah menjadi eksportir barang jadi, yang nilainya tentu lebih tinggi dibandingkan ekspor bahan mentah. Dan tentunya juga perlu didukung pembangunan infrastruktur menuju sentra-sentra pertanian/perkebunan tersebut, untuk memudahkan transportasi dan sekaligus menurunkan biaya pengangkutannya.

Kemudian secara taktis, yang tidak kalah penting adalah perlunya langkah strategis dari pemerintah terkait Dana APBN/APBD yang banyak mengendap di Bank-Bank Pembangunan Daerah. Per kuartal kedua tahun 2017, tercatat sebanyak Rp 250 Triliun Dana Alokasi Umum yang “menganggur” di Perbankan. Dana yang sangat besar ini, jika digunakan untuk kegiatan yang produktif, tentu akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan daya beli masyarakat.

Jakarta, 22 Agustus 2017

Marzuki, SE

Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana – Perbanas Institute 2017

*) Sumber Data: BPS,Detik.Com, KOmpas.Com, Investor Daily, dan pengamatan selama berkecimpung di Mikro Banking terutama terhadap fenomena krisis ekonomi terkait komoditas di Pulau Sumatera selama tahun 2015 dan 2016.

GUGATAN KEPAILITAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN KEWAJIBAN DEBITUR WANPRESTASI DI DUNIA PERBANKAN (MZ)

PENDAHULUAN

Perkembangan ekonomi secara pesat akan sangat berpengaruh kepada perekonomian suatu masyarakat. Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dalam melaksanakan kebutuhan usahanya tentunya membutuhkan modal, baik modal sendiri maupun modal dari pihak lain. Pihak lain yang secara legal diakui negara adalah Lembaga Perbankan. Sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perbankan) menyatakan bahwa : “ Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak”.

Bank merupakan merupakan lembaga keuangan yang bekerja berdasarkan kepercayaan. Dalam kegiatan operasionalnya, bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan maupun deposito dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit. (Aris Sunindyo dan Aprilia Ari Wijayanti, 2010;54). “Dalam pemberikan kredit Bank harus mematuhi aturan-aturan yang semakin ketat, seperti penerapan analisis 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral and Condition of Economy)”.

Pemberian kredit dimaksud pada hakikatnya menyukseskan program-program pemerintah berkaitan dengan sektor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menurut pola yang diterapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), karena di dalam UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Pemberian kredit dituangkan dalam suatu perjanjian kredit dimana setiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi, atau sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur (Abdul Kadir Muhammad, 2000: 199).

Menurut ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Jika dikemudian hari debitur tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti telah ditetapkan dalam perikatan maka debitur dapat dikatakan wanprestasi. Tidak terpenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua alasan, yaitu (Abdul Kadir Muhammad, 2000: 203) :

  1. Kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.
  2. Keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.

Ada tiga keadaan dimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, yaitu:

  1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
  2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru; dan
  3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Debitur dikatakan dalam keadaan wanprestasi atau tidak, dapat ditentukan melalui tenggang waktu, apakah adalm perjanjian itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi sedangkan dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Debitur perlu diberi peringatan tertulis yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan, jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya maka debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapt juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang yang sebut sommatie. Peringatan tertulis tidak resmi misalnya melalui surat tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling (Abdul Kadir Muhammad, 2000; 204).

Bank seharusnya mendapat perlindungan hukum secara khusus. Apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya atau wanprestasi, maka pihak bank dapat menyelesaikannya melalui bantuan hukum. Perlindungan hukum melalui jalur pengadilan, pengadilan Niaga, melalui panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan melalui lembaga Paksa Badan atau sering disebut Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) (Jamal Wiwoho, 2011:107).

Jika debitur wanprestasi, maka pihak Perbankan akan mencadangkan biaya kerugian atas kredit yang bermasalah tersebut, yang dikenal dengan biaya kredit atau Cost of Credit yang tentunya akan mengurangi keuntungan bank. Untuk itu, umumnya disetiap bank terdapat divisi Collection atau Aset Liabilities Unit (ALU) yang bertugas khusus menangani kredit bermasalah. Dalam menghadapi debitur yang wanprestasi biasanya pihak perbankan menjalankan berbagai alternatif penyelesaian, baik secara kekeluargaan bahkan sampai menempuh jalur hukum.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu bagaimana gugatan kepailitan sebagai alternative penyelesaian kewajiban debitur wanprestasi di dunia perbankan dan hambatan apa yang mungkin timbul beserta solusi penyelesaiannya.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum empiris. Pada penelitian hukum empiris yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan penelitian terhadap data primir di lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekantor, 2006 : 52).

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesis-hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru. Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu pendekatan menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek.

Penulis menggunakan jenis dan sumber data primer yaitu wawancara terhadap bagian kredit, bagian collection dan bagian litigasi dari beberapa bank swasta nasional yang menangani kredit bermasalah dan data sekunder yaitu bersumber dari bahan-bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan, jurnal, makalah, artikel, dan bahan dari internet serta sumber lain yang terkait. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis interaktif dengan pendekatan penelitian bersifat kualitatif. Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan verifikasinya (Heribertus Sutopo, 2006: 113-116).

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penyelesaian sengketa antara pelaku usaha tidaklah dapat dipisahkan dengan penerapan etika bisnis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan hukum bisnis dan praktik bisnis itu sendiri. Dengan penerapan etika bisnis berarti da-lam hal terjadi sengketa bisnis tentunya akan me-nimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, meng-haruskan adanya upaya penyelesaian sebagai konsekuensinya.

Sengketa yang terjadi antara para pihak menuntut suatu penyelesaian yang tuntas dan cepat. Secara etika bisnis sekurang-kurangnya terdapat enam macam pertanggung jawaban yang harus di-berikan oleh para pelaku bisnis, yaitu :

  1. Setiap pengusaha besar atau kecil, tetapi terutama yang besar, yang mengambil keun-tungan dari masyarakat, harus mengembalikan keuntungan itu kepada masyarakat (business persons realized profits from the community, those profits should be return to the community) : membayar pajak, membayar upah, dan menjadi kontributor dalam pengertian menambah jumlah milik sosial.
  2. Sikap dan sifat terus terang (transparancy), jujur (fairness) dengan integritas pribadi yang memiliki mental yang bersih. patokan ini meru-pakan salah satu standar etika bisnis yang paling tinggi dalam keterlibatan seseorang dalam kegiatan praktik bisnis: baik antara sesama pe-ngusaha dalam suatu perikatan maupun meliputi antara pengusaha dengan pelanggan, pesaing, pemasok, karyawan, dan masyarakat.
  3. Jangan menuntut kemenangan yang sebesar-besarnya dan menghempaskan pihak lain dalam kekalahan yang separah-parahnya.
  4. Membina kebiasaan mengakui kesalahan sendiri dan mengakui dan menyadari hal yang baik dan positif dari orang lain.
  5. Membiasakan menyelesaikan sengketa dengan cepat, agar : sengketa tidak semakin jauh dari jalur pokok masalah dan sengketa tidak berakar lebih dalam.
  6. Membina saling interdependen dalam bisnis dan apabila terjadi sengketa : lakukan langkah-lang-kah pendekatan mencari kompromi (compromise) dan untuk itu menjauhkan sikap penggu-naan ungkapan : this is my way and this is your way karena sikap yang demikian akan menghadapkan penyelesaian kepada : there is no the way yang berarti sama dengan jalan buntu. (M. Yahya Harahap, 1997)

 

Berdasarkan teori etika bisnis tersebut, para pelaku bisnis diharapkan untuk menyelesaikan sengketa bisnis yang ada padanya dengan jalan damai. Hal tersebut, sebetulnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) dan Reglemen Hukum Acara untuk Luar Jawa dan Madura (Rbg) sampai sekarang berlaku di Indonesia telah memuat ketentuan umum untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara para pelaku usaha yaitu dengan melakukan penagihan dan/atau gugatan terhadap Debitor atas kelalaiannya dalam memenuhi kewajibannya terhadap Kreditor.

Beberapa prinsip penyelesaian sengketa bisnis diantara para pelaku usaha di dasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1131, 1132, yang menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 1131 Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya per-seorangan.

Pasal 1132 Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan padanya ; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar ke-cilnya piutang masing-masing, kecuali apabila dian-tara para berutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Berdasarkan kedua Pasal sebagaimana tersebut diatas, maka pada dasarnya terdapat 2 (dua) prinsip penyelesaian sengketa bisnis yaitu :

  1. Bahwa semua kekayaan Debitor yang bergerak dan tidak bergerak, baik yang sedang dimiliki atau yang akan dimiliki di kemudian hari terikat kepada penyelesaian utang (Pasal 1311 KUHPerdata) ;
  2. Harta tersebut sebagai jaminan yang hasilnya harus dibagikan secara proporsional kepada pa-ra Kreditor, kecuali Kreditor yang memiliki hak istimewa.

 

Atas dasar kedua prinsip tersebut, maka penyelesaian yang dimaksud adalah penyelesaian melalui lembaga kepailitan yang tunduk pada ke-tentuan Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menentukan bahwa, “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan (Pasal 21)“.

Terlepas dari ketentuan umum tersebut di atas, pada hakekatnya mengenai pola dari pe-nyelesaian sengketa bisnis, dapatlah dilakukan de-ngan dua cara, yaitu melalui Alternatif Dispute Resulution (ADR) sebagaimana ketentuan Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku sejak tanggal 12 Agustus 1999 dan dengan cara litigasi diPengadilan Negeri yaitu Pengadilan Niaga yang dalam hal ini dilakukan melalui Lembaga Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Pola penyelesaian sengketa bisnis sebagai-mana telah diatur dalam Undang Undang No. 37 tahun 2004 dapat ditempuh dengan melalui 2 (dua) cara yaitu dengan melalui Kepailitan atau melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pola-pola penyelesaian tersebut merupakan pola yang dianggap paling efektif dan sifatnya terbuka untuk para pihak yang bersengketa, serta saling meguntungkan kedua belah pihak, baik pihak Debitor maupun pihak Kreditor.

 

Kepailitan

Istilah “pailit” berasal dari bahasa Perancis “Faillite” yang berarti pemogokkan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut “le failli”, kata kerja “faillir” berarti gagal. Dalam bahasa Inggris kita kenal kata “to fail” dengan arti yang sama. Demikian pula kata kerja “failire” dalam bahasa Latin. Di negara-negara yang berbahasa Inggris pengertian yang dipergunakan untuk istilah-istilah itu adalah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Di dalam bahasa Indonesia kata pailit atau bangkrut mengandung pengertian menderita kerugian besar hingga jatuh (tentang perusahaan, toko dsb); gulung tikar; jatuh miskin. Sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi, bangkrut atau pailit artinya suatu keadaan Debitor yang dinyatakan dengan putusan Hakim bahwa ia dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya (Elly Erawaty, 1996).

Secara umum, pailit adalah suatu sitaan umum menurut hukum atas seluruh harta benda Debitor agar dicapainya perdamaian antara Debitor dan para Kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para Kreditor. Dalam hal ini penyitaan tersebut dilaksanakan oleh Pengadilan dan kemudian dilakukan eksekusi atas semua harta kekayaan Debitor tersebut demi untuk kepentingan bersama para Kreditor.

Definisi kepailitan dalam UU Kepailitan dan PKUP Bab I Pasal 1 butir 1 adalah “ sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas”. Lebih lanjut, dalam butir ke 5 disebutkan bahwa yang dimaksud kurator adalah “Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur Pailit dibawah pengawasan hakim pengawas”. (Arus Akbar Silondae, Wirawan B. Ilyas, 2011: 59).

Penyitaan dan eksekusi yang dimaksud dari pengertian tersebut merupakan penyitaan bersama untuk menjaga agar semua Kreditor memperoleh manfaat dari boedel pailit, yang dilakukan dengan jalan dibagi menurut perimbangan hak tagihan/tuntutan masing-masing. Dengan demikian secara prinsip semua Kreditor mempunyai hak yang sama atas pembayaran yang berarti bahwa hasil harta kepailitan akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan Kreditor (paritas creditorum). Prinsip kepailitan yang demikian ini merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, dimana kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua Kreditor yang dibagi menurut prinsip keseimbangan “Pari Pasu Prorata Parte”. (Jerry Haff, 2000).

 

Tujuan Hukum Kepailitan

Menurut Levintal (dalam Syahdeni, 2009: 28), tujuan hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah :

  1. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur diantara para krediturnya;
  2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur;
  3. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beriktikad dari para krediturnya dengan cara memperoleh pembebasan utangnya.

 

Prosedur Penyelesaian Kepailitan

Syarat pernyataan pailit pertama kali dimuat dalam Faillissement Veroderning (FV) yang menyatakan : Setiap berutang yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya dengan putusan Hakim, baik atas pelaporan sendiri, baik atas permintaan seorang atau lebih para berpiutangnya, dinyatakan dalam keadaan pailit. (Aria Suyudi, 2004).

Dari ketentuan tersebut, terlihat adanya satu syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit, yaitu Debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Kelemahan ini coba dikoreksi oleh ketentuan Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 6 ayat (3) Undang Undang No. 4 Tahun 1998 jo Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Undang No. 37 tahun 2004, yang menyatakan, Pasal 2 ayat (1) Undang Undang No. 37 tahun 2004, Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permo-honan satu atau lebih Kreditornya. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya”.

Dari ketentuan tersebut, diperolehlah syarat yuridis agar Debitor dapat dinyatakan pailit, yaitu :

  • Adanya utang;
  • Ada dua utang atau lebih ;
  • Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
  • Adanya Debitor ;
  • Lebih dari dua Kreditor ;
  • Pernyataan Pailit dilakukan oleh Pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”.
  • Permohonan menyatakan Pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu pihak Debitor, satu atau lebih Kreditor, Jaksa untuk Kepen-tingan Umum, Bank Indonesia jika Debitornya bank, Bapepam jika Debitornya Perusahaan Efek, dan Menteri Keuangan jika Debitornya Perusahaan Asuransi;
  • Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang dise-butkan dalam undang-undang kepailitan.;
  • Apabila syarat-syarat terpenuhi, “Hakim menyatakan pailit”, bukan dapat dinyatakan pailit.

Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “jud-gement” yang luas seperti pada kasus-kasus lain, sesungguhnya limited defence masih dibenarkan mengingat yang berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir (Pasal 8 ayat (4) Undang Undang No. 37 Tahun 2004). Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi untuk pengajuan permohonan Pengajuan permohonan pernyataan pailit dapat diajukan kepada Pengadilan melalui panitera, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 6 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu :

  • Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.
  • Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersang-kutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
  • Panitera wajib menolak pendaftaran permo-honan pernyataan pailit bagi institusi sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.
  • Panitera menyampaikan permohonan pernya-taan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permo-honan didaftarkan.
  • Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permo-honan dan menetapkan hari sidang.
  • Sidang pemeriksaan atas permohonan pernya-taan pailit diselenggarakan dalam jangka wak-tu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
  • Atas permohonan Debitor dan berdasarkan ala-san yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimak-sud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

 

Penyampaian permohonan pailit dapat diajukan oleh :

  • Debitur itu sendiri
  • Dua atau lebih Kreditur
  • Kejaksaan untuk kepentingan umum
  • BI dalam hal Debitur adalah Bank
  • Ketua Bapepam dalam hal Debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian
  • Menteri Keuangan dalam hal Debitur adalah perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan umum.

 

Skema Pengajuan Gugatan Pailit

 

 

Akibat Kepailitan

Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan debitur sejak putusan itu dikeluarkan oleh hakim dimasukkan ke dalam harta pailit. Dengan kata lain, akibat putusan pailit dan sejak putusan itu, harta kekayaan debitur berubah statusnya menjadi harga pailit. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur apda saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. (Arus Akbar Silondai, Wirawan B. Ilyas, 2011: 65).

Kepailitan pada intinya adalah penyitaan umum berdasarkan Undang Undang atas harta kekayaan Debitor yang digunakan untuk membayar utang kepada Para Kreditor. Maksud kepailitan adalah untuk melikuidasi aset atau harta kekayaan Debitor agar membayar tuntutan Kreditor yang memperhatikan penggolongan tuntutan tersebut sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata Pernyataan pailit mempunyai pengaruh luas terutama di bidang hukum harta kekayaan karena pernyataan pailit mengakibatkan Debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit sesuai ketentuan Pasal 21 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai dampak hukum kepada Debitor, sebagai berikut :

  1. Debitor kehilangan hak mengurus dan menguasai harta. Dengan adanya putusan pailit, dengan sendirinya (van rechtswege) kehilangan hak menguasai dan mengurus ke-kayaannya yang termasuk harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit, yang dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat (Pasal 24 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
  2. Dampak terhadap hibah. Dalam penghibahan yang dilakukan oleh Debitor, Kurator dapat memohon pembatalannya, maka kewajiban Kurator untuk membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, Debitor mengetahui atau patut mengetahui tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor; seba-liknya dengan ketentuan ini, Kurator tidak perlu membuktikan bahwa penerima hibah mengetahui atau patut mengetahui bahwa hi-bah tersebut merugikan Kreditor vide Pasal 43 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pemba-yaran Utang.
  3. Dampak terhadap pembayaran utang. Menurut ketentuan Pasal 45 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pembayaran suatu utang yang dapat ditagih oleh si ber-utang, hanya dapat dimintakan pembatalannya, jika dibuktikan bahwa si penerima pembayaran mengetahui bahwa pernyataan pailitnya si berutang sudah dimintakan atau pelaporan untuk itu telah dimasukkan, maupun apabila pembayaran tersebut adalah akibat suatu perse-kongkolan antara si berutang dan si berpiutang yang dimaksudkan dengan memberikan pem-bayaran itu, memberikan keuntungan kepada si yang terakhir ini melebihi para berpiutang lainnya.
  4. Dampak terhadap surat-surat berharga. Berdasarkan Pasal 46 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka tidak boleh dilakukan penagihan kembali dari orang yang sebagai pemegang suatu surat berharga suatu surat tunjuk (aan toonder) atau surat bawa (aan order), karena berhubungan hukum dengan pemegang yang dahulu, diwajibkan menerima pembayaran. Jumlah yang telah di-bayarkan oleh si berutang wajib dikembalikan, manakala dibuktikan bahwa penerbitan surat-surat berharga tersebut adalah akibat dari suatu perundingan. Perlu diperhatikan bahwa segala tuntutan di atas harus diajukan kepada Kurator, namun bolehlah para berpiutang/Kreditor berdasarkan alasan-alasan yang diambilnya dari ketentuan-ketentuan tersebut membantah suatu penagihan. Pengakhiran kepailitan dengan disahkan perdamaian mengakibatkan gugurnya tuntutan-tuntutan hukum, kecuali perdamaian yang berisi suatu pelepasan harta pailit, dalam hal mana tuntutan-tuntutan tersebut boleh diteruskan atau dimajukan oleh para pemberes harta itu.
  5. Dampak terhadap pembayaran sesudah pernyataan pailit diucapkan, tetapi sebelum per-nyataan kepailitan tersebut diumumkan. Setiap orang yang setelah diucapkannya putusan pernyataan pailit, tetapi sebelum pernyataan pailit itu diumumkan, membayar kepada si pailit untuk memenuhi perikatan-perikatan yang terbit sebelum pernyataan pailit, dibebaskan terhadap harta pailit selama tidak dibuktikan bahwa dia mengetahui akan pernyataan pailit itu.

Disamping dampak-dampak tersebut di atas, kepailitan mempunyai akibat hukum terutama terhadap harta kekayaan Debitor, yaitu :

  • Seluruh harta kekayaan Debitor pailit berada dalam keadaan penyitaan umum yang bersifat konservatoir;
  • Terjadi penangguhan eksekusi;
  • Perkara di Pengadilan ditangguhkan atau diambil alih oleh Kurator;
  • Semua penyitaan dibatalkan;
  • Harta kekayaan pailit di urus dan dikuasai oleh kurator/ BHP untuk kepentingan semua Kreditor;
  • Adanya Hakim Pengawas yang bertugas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan tersebut;
  • Membawa akibat kepailitan terhadap peri-katan-perikatan yang telah dibuat oleh Debitor.

 

Kepailitan dan Pengembalian Piutang Kreditor

Penyelesaian sengketa antara Debitor dan Kreditor secara adil, cepat, terbuka dan efektif dengan didasarkan atas Undang Undang Kepailitan yang telah disempurnakan, yaitu Undang Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Asas keadilan dan kepastian hukum merupakan dua prinsip yang dijadikan landasan dalam penyelesaian sengketa hukum termasuk sengketa khususnya yang berke-naan dengan masalah utang piutang melalui kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Keadilan hukum dalam pengertian formal berarti bahwa semua orang berkedudukan sama di depan hukum dan tidak ada diskriminasi. Undang Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pem-bayaran Utang berlaku bagi pihak-pihak Debitor dan Kreditor yang memilih menyelesaikan masalah sengketa melalui cara-cara yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Kepailitan. Digunakannya kepailitan sebagai sarana untuk memperoleh pengembalian utang oleh Kreditor, karena Kreditornya cukup banyak se-dangkan harta Debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua Kreditor. Sehingga memungkinkan para Kreditor akan berlomba-lomba dengan segala cara untuk memperoleh pemenuhan piutangnya. Apabila Kreditornya hanya satu, maka penyelesainya dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dan hasil eksekusi atas harta Debitor digunakan untuk membayar utang Debitor tersebut.

Oleh karenanya tujuan dari kepailitan adalah untuk menghindari terjadinya perebutan harta Debitor oleh para Kreditor sehingga ada Kreditor yang memperoleh pelunasan dan ada Kreditor yang tidak memperoleh pelunasan. Sehingga merugikan Kreditor yang lain dan tidak memberikan keadilan. Fred Tumbuan mengatakan, dengan sita umum menghindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para Kreditor secara sendiri-sendiri. Tumbuan, 2001) Dengan demikian para Kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concurus creditorium) sebagaimana prinsip kepailitan Pasal 1132 KUHPerdata.

Dengan demikian tujuan utama kepailitan adalah: untuk melakukan pembagian antara para Kreditor atas kekayaan Debitor oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh Kreditor dan menggantikannya dengan suatu sitaan bersama sehingga harta kekayaan dapat dibagikan kepada semua Kreditor sesuai dengan haknya masing-masing. (Imran, 2005).

Untuk memberikan perlindungan hukum bagi kreditor, dalam hukum kepailitan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU No. 37/2004) yang pada pokoknya berisi diperkenankannya mengajukan permohonan sita jaminan oleh kreditor

ataupun menunjuk kurator sementara untuk mengelola atas sebagian atau seluruh kekayaan debitor, sebagai upaya pengamanan yang bersifat preventif dan sementara, yakni untuk mencegah kemungkinan bagi debitor melakukan tindakan terhadap kekayaannya sehingga dapat merugikan kepentingan kreditor dalam rangka pelunasan utangnya. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 37/2004 juga diatur, apabila permohonan sita jaminan tersebut dikabulkan, Pengadilan Niaga dapat mensyaratkan agar kreditor memberikan jaminan dalam jumlah yang wajar demi menjaga keseimbangan antara kepentingan debitor dan kreditor.

Oleh karena itulah yang perlu dikaji adalah dalam hal menentukan jumlah jaminan, siapakah yang menjalankan sita jaminan tersebut, bagaimanakah melaksanakannya serta apa akibat hukumnya, dan lain-lain yang kesemuanya itu tidak diatur dalam UU No. 37/2004 tersebut. Oleh karena itu dalam praktik diberlakukan ketentuan Pasal 197, 198 dan 199 HIR (211, 212, dan 213 RBG). Begitu pula bagaimana halnya, bila ada perlawanan terhadap sita jaminan tersebut, akan menimbulkan masalah hukum apakah perkara tersebut diperiksa di Pengadilan Niaga ataukah di Pengadilan Negeri.

 

Biaya Untuk Memberikan Jaminan Perlindungan Hukum bagi Kreditor Dalam Kepailitan Relatif Tinggi

Biaya yang harus dibayar untuk perkara kepailitan, memang dirasakan cukup besar, walaupun hal itu dapat dipahami karena tugas pekerjaan yang harus dilakukan memang

sangat berat dan rumit. Beberapa peraturan yang berhubungan dengan biaya dalam pengajuan permohonan kepailitan yaitu:

  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 jo PP No. 19 Tahun 2007 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehakiman;
  • Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor:M.02-UM.01.06 Tahun 1993 tentang Penetapan Biaya Pelayanan Jasa Hukum di Lingkungan Kantor Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman;
  • Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : H.09-HT.05.10- Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Bagi Kurator dan Pengurus; 4) Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat Nomor: 007.DC.HT.048.01/VIII/1998/01 tentang Biaya-Biaya Pendaftaran Perkara Kepailitan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat.

Biaya yang harus diperhatikan dan mesti dibayar oleh pemohon kepailitan apabila hendak mengajukan perkara kepailitan meliputi: a) Biaya untuk jasa seorang penasihat hukum, karena untuk beracara di pengadilan niaga harus diwakili oleh seorag penasihat hukum (Pasal 6 Undang-Undang No.37 Tahun 2004); b) Biaya pendaftaran perkara di pengadilan niaga; c) Biaya pelaksanaan sita jamina, pengangkatan kurator sementara, dan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan manakala sita jaminan dikabulkan. Biaya sub a dan c inilah yang tidak pasti besarnya, tergantung pada keadaan, dan inilah juga merupakan kendala bagi pelaksanaan pemberian jaminan perlindungan hukum bagi kreditor sebagaimana diatur oleh Pasal 10 UU No.37/2004.

Besarnya biaya yang tidak pasti tersebut, mengakibatkan kreditor tidak bisa memperhitungkan, berupa hasil yang akan didapatnya manakala menggunakan lembaga

hukum kepailitan untuk menyelesaikan perkaranya. Padahal dalam kegiatan ekonomi

diperlukan perhitungan yang jelas, atas segala pengeluaran yang mesti dikeluarkan. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman yang mengatur biaya-biaya tersebut, sebagaimana yang telah ditentukan dalam keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang mengatur pedoman besarnya imbalan bagi kurator dan pengurus. Pengaturan tersebut dapat bersifat positif, karena kreditor akan mendapat perlindungan terhadap perhitungan biaya yang sewenang-wenang. Sebelum seseorang kreditor menggunakan lembaga hukum kepailitan, dan permohonan sita jaminan atas harta debitor atau pengangkatan kurator sementara yang bersangkutan akan mendapat gambaran dan perhitungan yang jelas berapa biaya yang harus dikeluarkannya, sehingga dapat diperhitungkan apakah permohonan kepailitan dan jaminan perlindungan hukum atas dirinya, akan memberikan keuntungan yang maksimal atau tidak.

 

Daerah Hukum Pengadilan Niaga

Didalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II, Edisi 2009, Mahkamah Agung RI, disebutkan bahwa berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1999, daerah hukum Pengadilan Niaga meliputi:

  1. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar, meliputi wilayah Propinsi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya (Papua dan Papua Barat).
  2. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, meliputi wilayah Propinsi: Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
  3. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, meliputi wilayah Propinsi: Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
  4. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, meliputi wilayah Propinsi: Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat.
  5. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan, meliputi wilayah Propinsi: Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.

 


 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh kesimpulan, sebagai berikut :

  1. Kepailitan merupakan cara penyelesaian sengketa dengan cara pemberesan, dimana budel pailit akan dibagi kepada para Kreditor secara pari pasu prorate parte.
  2. Kepailitan sebagai sarana untuk memperoleh pengembalian utang oleh Kreditor, karena Kreditornya cukup banyak sedangkan harta Debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua Kreditor.
  3. Penyelesaian sengketa antara Debitor dan Kreditor dilakukan secara adil, cepat, terbuka dan efektif, dimana asas keadilan dan kepastian hukum merupakan dua prinsip yang dijadikan landasan dalam penyelesaian sengketa masalah utang piutang melalui kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
  4. Gugatan kepailitan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif solusi penyelesaian terakhir dalam proses penagihan hutang dari debitor yang wanprestasi, namun mengingat besarnya biaya yang akan dikeluarkan perusahaan dalam melakukan proses gugatan kepailitan, maka dalam praktiknya pihak perbankan jarang sekali menggunakan kepailitan sebagai media penyelesaian kredit bermasalah. Pihak perbankan biasanya lebih mengutamakan pendekatan kekeluargaan atau dikenal sebagai soft collection, dan apabila debitur melakukan perlawanan barulah dilakukan proses hukum melalui sommatie di Pengadilan Negeri atau Gugatan Kepailitan di Pengadilan Niaga, itu pun hanya diberlakukan kepada debitur yang memiliki kewajiban (hutang) dengan outstanding besar (biasanya diatas Rp 1 Milyar), yang diperkirakan bahwa hasil dari penjualan asset debitor pailit dapat mengcover biaya-biaya yang telah dikeluarkan pihak Bank dan pokok hutang itu sendiri.
  5. Jumlah Pengadilan Niaga yang terbatas, yaitu hanya ada di lima kota besar juga turut menyebabkan alternatif penyelesaian kredit bermasalah (debitur wanprestasi) melalui gugatan kepailitan menjadi kurang favorit di Dunia Perbankan, karena jarak debitur yang umumnya jauh dari lokasi Pengadilan Niaga sehingga akan menyita waktu dan biaya yang relatif besar.


 

Daftar Pustaka

Arus Akbar Silondae, Wirawan B. Ilyas, “Pokok-Pokok Hukum Bisnis”, Penerbit Salemba Empat, Cetakan ketujuh, 2017

Heribertus Sutopo, “Metode Penelitian Kualitatif”, Surakarta, UNS Press, 2006.

Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 2006

Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti, “Analisis Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan di Negeri Pailit”, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2004.

Fred B.G. Tumbuan, “Pokok Pokok Undang Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1/1998 Dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”,. Rudhy A. Lontoh. Ed. Bandung : Alumni, Bandung, 2001.

Imran Nating, ”Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit”, Edisi Revisi. Cet. 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Indonesia, ”Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, U.U. No. 37 Tahun 2004. L.N. No. 131, T.B. No. 4484.

Jerry Hoff., “Undang Undang Kepailitan Indonesia”, Penerjemah Kartini Mul yadi. Cet. 1, P.T. Tatanusa, Jakarta, 2000.

AbdulKadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

  1. Yahya Harahap, “Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa”, Cet. Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.